Laman Drop Down

Sedulur Sikep: Desa Klopoduwur, Awal Mula Masyarakat Samin


Warna biru mewarnai langit di atas kota Yogyakarta. Hal tersebut menjadi pertanda baik bagi saya dan seorang teman untuk melakukan perjalanan menuju masyarakat Samin ( sedulur sikep ). Waktu menunjukan pukul 09.51, kami berdua bergegas naik bus tujuan Solo dari halte bus daerah Janti, Yogyakarta. Seperti biasa, selama perjalanan diiringi alunan musik pengamen jalanan yang selalu membuat saya kangen.  Dua jam sudah, akhirnya kami sampai di terminal Tirtonadi,Solo. Menunggu antrian penumpang lain untuk turun dari bus, kami bersiap – siap dulu. Segeralah kami turun dari bus tersebut dan pindah ke bus “Rela” tujuan Purwodadi. 
Bus "Rela"
Perjalan menuju Purwodadi menghabiskan waktu kurang lebih sekitar dua jam. Sesampainya di terminal Purwodadi, kami beristirahat sebentar untuk sekedar ke kamar kecil. Tidak lama kemudian, kami naik bus tujuan Blora.
Terminal Bus Purwodadi
 Tepat pukul lima sore, kami turun di daerah Biyandono ( Jalan Gatot Subroto ). Untuk mengisi perut yang masih kosong, kami mampir ke sebuah warung makan yang tak jauh dari tempat kami turun. Setelah perut terasa cukup berisi, kami menuju ke sebuah warung sembako di pinggir jalan. Beras, telur, gula, kopi, teh dan beberapa lainnya  menjadi barang belanjaan kami untuk logistik selama tinggal di rumah penduduk desa Klopoduwur. Tak diduga, ketika kami membalikkan badan dari warung tersebut, para tukang ojek sudah menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami menuju desa Klopoduwur. Setelah berbelit belit menawar harga, akhirnya disepakati ongkos sebesar sepuluh ribu sampai di Pendopo Sedulur Sikep, Desa Klopoduwur. Sembari menikmati jalanan pedesaan yang sejuk, teman saya menghubungi ketua paguyuban sedulur sikep untuk memberitahu bahwa kami akan segera sampai. Dua puluh menit kemudian, pak ojek berhenti dan saya kira sudah sampai. Ternyata kami belum sampai tujuan, lantas tukang ojek tersebut bertanya ke seorang warga , dimana letak pendopo sedulur sikep. Setelah terjadi tanyajawab yang cukup singkat, kami melanjutkan perjalanan. Tak lama dari tempat bertanya tadi, kami sudah sampai di pendopo sedulur sikep. Di depan kami sudah ada seorang bapak yang menyambut kami, yang tak lain adalah ketua paguyuban sedulur sikep. Kami segera diantar beliau menuju rumah mbah Lasio dan mbah Putri. Di atas meja sudah disiapkan teh hangat dan jagung rebus oleh mbah Putri. Sembari beristirahat dan menunggu giliran mandi, kami berbincang dengan mbah Lasio dan beberapa lainnya.  Setelah bebenah diri, kami menuju pendopo yang letaknya tak jauh dari rumah mbah Lasio. Tampak belasan warga telah duduk beralaskan karpet dan siap menyambut kami malam itu. Mereka sudah terbiasa melakukan hal tersebut apabila ada tamu seperti kami. Dalam sarasehan tersebut, kami memperbincangkan mengenai sedulur sikep atau samin. Baru beberapa jam, rasa kantuk tak tertahankan. Kami dipersilahkan untuk beristirahat dahulu di tempat yang telah mereka siapkan.
      Esok harinya, kami bangun kesiangan. Mungkin karena terlalu lelah di perjalanan hari sebelumnya. Hari itu , saya membantu mbah Putri untuk membersihkan pendopo yang kami gunakan semalam. 
Sarapan pagi ( mbak Agustin, Vita, Mbah Putri )
Kemudian, kami bermain – main bersama cucu mbah Putri di pendopo. Eh, justru saya ketiduran karena siang itu angin sangat sepoi – sepoi. 
Vita dan saya
Akhirnya, cucu mbah Putri bermain bersama teman saya. Setelah terbangunkan dari tidur, kami berdua dan cucu mbah Putri mencari ungker, kepompong ulat pohon jati. Karena penasaran, saya membeli sebungkus ungker seharga 6000. Sesampainya di rumah, mbah Putri membuka bungkusan ungker tersebut dan saya mencoba untuk memegangnya. Terasa geli saat memegang ungker itu, ungker bergerak patah – patah.
Bungkusan ungker
 Sepuasnya foto – foto dan pegang – pegang ungker, saya menemani mbah Putri untuk mengambil air di sumur yang letaknya lumayan jauh dari rumah. Untuk menampung air sumur , digunakan semacam kendi dan jerigen plastik. Kendi dan jerigen yang telah penuh air tersebut di bawa ke rumah dan digunakan untuk kami mandi. Setelah itu , kami diajak mbah Lasio untuk menuju ke sebuah perempatan kecil yang terletak di tengah hutan pohon jati. Di perempatan tersebut, terdapat sebuah gubug yang dahulu digunakan leluhur ajaran Samin untuk berpuasa. Kini, tempat tersebut juga masih sering digunakan sedulur sikep untuk  berkumpul di saat – saat tertentu. Setelah dijelaskan oleh mbah Lasio, kami kembali menuju rumah. Kemudian kami jalan – jalan menikmati segarnya udara pedesaan. Sekitar pukul setengah tujuh malam , kami balik untuk mandi dan makan . 
Bersama anak - anak sekitar
Di depan pendopo (bersama Vita )
Sebelum makan malam, saya mencoba makan ungker dulu. Malam harinya, kami berdua dan cucu mbah Putri  bersilahturahmi ke rumah ketua paguyuban yang telah menyambut kami dengan baik. Malam itu menjadi malam terakhir kami di sedulur sikep. Oleh karena itu, malam itu juga ada sarasehan lagi.
Bersama sedulur sikep
      Tidur pulas kami terganggu oleh alarm yang berdering. Segeralah kami bangun dari  tempat tidur dan bersiap – siap untuk pulang ke Jogja. Sebelum diantar ke halte bus terdekat, kami foto bersama mbah Lasio dan mbah Putri dahulu. 
Mbah Putri.Me.Mbah Lasio.Vita
Setelah itu, kami berpamitan dan diantarkan oleh menantu mbah Putri dan seorang warga desa tersebut menuju halte bus yang berjarak sekitar 15 km. Sesaat setelah menunggu, tibalah bus yang akan kami tumpangi. Rute bus yang digunakan sama seperti ketika berangkat. Namun, dalam perjalanan pulang ini kami mampir ke Sangiran sebentar yang terletak di daerah Sragen ( Jalan Purwodadi-Solo). 
Museum Sangiran

4 comments:

Mai Warman said...

keren blognya, banyak informasi daerah pati dri blog ini,tpi paling keren foto-fotonya..

www.kluyuran.net said...

terima kasih info jalan-jalannya. semoga bermanfaat bagi saya.

Unknown said...

jangan lupa info ke teman-teman ya, untuk mengunjungi desa kami lagi..

Unknown said...

Ka, boleh minta contact person ngga? lagi butuh banyak info tentang Samin nih. Makasih :)